Kamis, 01 September 2011

Filsafat Gabriel Marcel

KEHADIRAN SEBAGAI SEBUAH MISTERI:
SEBUAH TINJAUAN FILOSOFIS MISTERI EKSISTENSI MENURUT GABRIEL MARCEL


BAB  I 
PENDAHULUAN

1.1.      Latar Belakang
Menyelami makna Kehadiran hanya akan terjadi dalam sebuah relasi atau hubungan Aku dengan Yang lain. Namun itu tidak berarti bahwa dalam relasi itu misteri kehadiran sesama tersingkap dengan mudah. Bukan menjadi sesuatu yang ekstrim jika dikatakan bahwa makna kehadiran hanya dipahami oleh orang-orang yang bergulat di dalam misteri kehadiran itu sendiri. Dalam hal ini, kehadiran memiliki makna yang jauh lebih luas dan bahkan tak terpahami. Penyingkapan terhadap makna kehadiran mengindikasikan bahwa Aku sungguh menceburkan diri dalam relasi dengan Yang lain. Persoalannya ialah relasi yang seperti apa untuk menyingkapkan makna kehadiran itu?
Dalam sebuah ruangan dimana Aku berhadapan dengan seseorang, kemudian berbicara dengannya, tetapi pikiranku saat itu tidak ditujukan kepadanya, apakah Aku sungguh-sungguh hadir dan memberi pengaruh baginya saat itu? Apakah ini sebuah bukti bahwa Aku hadir bagi dirinya saat itu? Begitu juga ketika Aku mendengarkan kuliah atau seminar, Aku hadir tetapi pikiranku masih mengawang-awang atau tidak ditujukan kepada orang yang sedang berbicara di hadapanku. Apakah ini sebuah tanda kehadiran bagi Yang lain? Tentu saja sulit untuk mengenal dan mengetahui apakah Yang lain yang ada di hadapanku saat ini, yang berbicara dengan Aku, sungguh-sungguh hadir bagiku.
Kenyataan dewasa ini, kehadiran sesama seringkali dihancurkan oleh berbagai kepentingan, paham atau ideologi dari individu atau kelompok tertentu. Marx menilai ideologi sebagai wujud keegoisan manusia yang berkuasa atau yang berkepentingan untuk berpamrih.[1] Karena itu, manusia tidak menunjukkan eksistensinya yang nyata, tetapi lebih sebagai pengungkapan  keinginan penguasa.[2]
Dalam percaturan ekonomi, relasi dengan orang lain hanya terjadi oleh karena kepentingan bisnis semata. Artinya, saya menerima sesama yang lain apabila itu menguntungkan dalam usaha atau kerja saya. Konsekwensinya ialah, ketika orang lain tidak memberi keuntungan bagi saya maka saya dapat meninggalkan atau memutuskan relasi itu. Kehadiran orang lain hanya dibingkai oleh kepentingan untuk meraup keuntungan. Ini merupakan tanda bahwa uang lebih diutamakan daripada nilai eksistensi manusia.[3] Demikian juga nilai sosialitas manusia menjadi kabur dan bahkan tidak lagi memiliki makna yang berarti bagi manusia. Sehingga dalam berelasi dengan Yang lain, Aku menjadi terasing. Aku berusaha tetapi Aku terasing dari Yang lain. Demikianpun Yang lain menjadi terasing dari hidupku.[4]
Dalam bidang politik, seringkali kekerasan dilegalkan demi hasrat untuk berkuasa atau demi sebuah jabatan tertentu. Gelora berpolitik selalu diwarnai oleh pertumpahan darah. Di Filipina misalnya, pembunuhan terhadap jurnalis oleh karena persoalan politik.[5] Di sini kita dapat mempertanyakan, dimanakah kesadaran manusia akan kehadiran sesama dalam hidupnya?
Persoalan yang menyangkut paham atau ideologi agama, seringkali juga menjadi pemicu konflik antaragama. Peristiwa bom bunuh diri (mati sahid) yang sering dikaitkan dengan Jihad, menggoncangkan banyak negara di dunia ini. Padahal berJihad[6] tidak pernah bermaksud untuk melakukan bom bunuh diri (membunuh orang lain dan membunuh diri sendiri). Dengan dalil agama dan atas nama ajaran Tuhan, membunuh menjadi tindakan yang legal. Marx dengan sangat pedas mengeritik ideologi atas nama agama. Baginya, agama adalah candu rakyat yang memberikan kepuasan, tetapi itu sama sekali tidak mengubah orang yang terkena candu.[7] Bayangkan saja, orang lain yang tidak seiman dianggap sebagai kafir dan karena itu harus dimusnahkan. Apa yang telah ditetapkan oleh Tuhan itulah yang harus dinyatakan manusia. Di sini, Tuhan seolah-olah menyetujui tindakan manusia atau mengiakan tindakan kekerasan manusia. Jika Tuhan yang mengiakan tindakan itu, maka Tuhan tidak lain adalah seorang pembunuh. Mungkin ini kesimpulan yang terlalu sempit, namun kenyataannya tindakan bom bunuh diri (yang sering dihubungkan dengan jihad) diyakini akan mendapatkan pahala besar di surga.
Berkaitan dengan kebebasan manusia. Seringkali kebebasan menjadi penghalang bagi manusia untuk menerima dan mengakui kehadiran sesamanya. Seorang ibu yang secara sadar melakukan aborsi hanya karena tidak mau sibuk atau karena terlanjur berhubungan seks juga menjadi tanda kematian kesadaran manusia akan kehadiran sesamanya. Di Indonesia misalnya, memiliki undang-undang negara tentang larangan dan hukuman terhadap orang yang melakukan tindakan aborsi. [8] Kendatipun tidakan aborsi itu sudah dilarang dalam hukum, namun tetap saja tindakan yang sama dilakukan.[9] Demikian juga kasus bayi yang dibuang ke tempat sampah atau di halaman rumah penduduk. Kasus kecil seperti ini kerap terjadi di negara kita. [10]
Dari persoalan-persoalan konkret di atas kita dapat melihat bahwa kebebasan manusia untuk melakukan apa saja termasuk membunuh adalah sesuatu yang wajar-wajar saja. Namun di balik tindakan itu, manusia sesungguhnya hadir sebagai pemusnah atau penghancur bagi sesamanya. Manusia tidak lagi menghendaki orang lain hadir di hadapannya dan menikmati hidup di dunia ini. Inilah simbol keegoisan manusia dalam memahami dan mengakui kehadiran orang lain dalam hidupnya. Dengan kata lain, relasi Aku dengan Yang lain bukan lagi karena Aku sadar akan pentinganya kehadiran Yang lain dalam hidupku, tetapi melihat orang lain sebagai pesaing dan penghalang bagiku.
Banalitas akan arti kehadiran orang lain dalam relasi masa kini adalah simbol ketertutupan manusia terhadap sesamanya. Dapat juga dikatakan bahwa inilah model kematian pertama manusia di dunia ini. Manusia mengalami kemunduran untuk mengenal dan mengakui sesamanya. Dari berbagai persoalan konkrit di atas, penulis melihat bahwa dehumanisasi atau kehancuran nilai hidup manusia akan semakin terbuka lebar dan bahkan tidak akan pernah berakhir. Karena itu, Gabriel Marcel mencoba menuntun kita menyelami makna kehadiran orang lain dalam hidup kita. Ia menemukan  makna  kehadiran sesama sebagai sebuah misteri. Karena misteri kehadiran begitu sulit dilukiskan (makna kehadiran sesama), maka penulis mencoba menyelami lebih jauh dan menceburkan diri dalam pemikiran Gabriel Marcel.

1.2.    Pemetaan Masalah
Fokus utama penulisan skripsi ini adalah mendeskripsikan pemikiran Gabriel Marcel mengenai makna kehadiran sebagai sebuah misteri. Pertanyaan utama yang hendak dijawab adalah mengapa kehadiran itu dipandang sebagai sebuah misteri oleh Gabriel Marcel dan dimana letak kemisterian dari sebuah kehadiran? Sebelum menjawab pertanyaan ini, kita perlu mengetahui makna kehadiran yang tidak dapat dipisahkan dari relasi dengan Yang lain. Apa artinya misteri kehadiran itu sendiri dalam relasi dengan Yang lain?            
Bagi Marcel, kehadiran itu bukan sekadar relasi sosial semata, melainkan melampaui yang sosial itu atau disebutnya sebagai relasi Metasosiologis. Kehadiran bukan soal kedekatan fisik antara Aku dengan Yang lain, tetapi kehadiran itu melampaui apa yang fisik sekaligus melampaui ruang dan waktu. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang coba dijawab dalam skripsi ini.

1.3.    Tujuan Penulisan
Tujuan utama penulisan skripsi ini adalah untuk mendalami pemikiran Gabriel Marcel tentang makna kehadiran orang lain atau kehadiran sesama. Setelah membaca berbagai komentar terhadap pemikiran filsuf ini, penulis merasa tertarik untuk mencoba mendalami lebih jauh apa yang telah dikonsepkan oleh Gabriel Marcel.
Kendatipun sember utama atau buku-buku rujukan yang ditulis oleh filsuf ini masih sangat langka dalam kepustakaan di Indonesia, penulis tetap memiliki semangat untuk mendalami pemikiran Marcel ini. Harapannya bahwa setelah mendalami pemikiran Gabriel Marcel ini, penulis semakin memiliki kesadaran yang mendalam akan makna kehadiran sesama dalam setiap pengalaman hidup berelasi dengan Yang lain. Selain itu, penulisan skripsi ini juga bermaksud memenuhi sebagian persyaratan menyelesaikan Program Strata Satu Filsafat Teologi di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang.
1.4.   Metode Penulisan
Dalam tulisan ini, penulis menggunakan metode analisis filosofis untuk mendalami pemikiran Gabriel Marcel. Penulis mengawalinya dengan membaca karya Gabriel Marcel, The Mystery of Being: Reflection and Mystery. Selain itu, penulis juga membaca buku-buku lain dan berbagai komentar atau ulasan dari orang-orang yang juga menulis tentang Marcel melalui sebuah studi kepustakaan. Pada akhirnya, penulis membuat sebuah ulasan kecil tentang tokoh ini dengan melihat konteks sekarang ini.

1.5. Sitematika Penulisan
Tulisan ini dimulai dengan Pendahuluan yang mengulas Latar Belakang penulisan skripsi ini, Pemetaan Masalah, Tujuan Penulisan, Metode serta Sitematika Penulisan.
Dalam bab II, penulis membahas secara khusus tentang Gabriel Marcel, Riwayat Hidup, Karya-karyanya, Sekilas tentang Pandangan Marcel dan Tokoh-tokoh yang mempengaruhi Pemikirannya.
Selanjudnya pada bab III, akan dibahas secara singkat Makna Misteri. Selain itu, mengulas arti Kehadiran sesama yang dikonsepkan oleh beberapa pemikir eksistensialis.
Bab IV merupakan inti dari tulisan ini. Penulis membahas Arti Misteri menurut Marcel dan bagaimana Kehadiran dapat diungkapkan. Melalui metafor Anak-Ayah dan penolakkan terhadap hidup sebagai karunia, penulis menghantar kita pada makna kehadiran sebagai Misteri yang melampau segala bentuk relasi sosial semata.
Bab V adalah Kesimpulan. Pada bagian ini, penulis memberikan rangkuman terhadap pokok-pokok persoalan yang telah diuraikan sebelumnya. Kemudian memberikan tinjauan kritis serta melihat relevansi dari pemikiran Gabriel Marcel untuk konteks sekarang ini.

BAB II 
HIDUP, KARYA-KARYA, PANORAMA PEMIKIRAN DAN TOKOH-TOKOH YANG MEMPENGARUHI PEMIKIRAN GABRIEL MARCEL

2.1. Riwayat Hidup
          Gabriel Marcel lahir tahun 1889 di Perancis. Ayahnya dibaptis dalam Gereja Katolik, tetapi kemudian tidak lagi memiliki keyakinan religius. Demikian juga ibunya yang berasal dari keturunan Yahudi.[11] Ibunya meninggal ketika Marcel berumur 4 tahun. Ayahnya kemudian menikah lagi dengan adik ibunya. Dalam pengalamannya, Marcel merasakan bahwa pernikahan yang kedua dari ayahnya tidak memberikan kebahagiaan bagi hidupnya. Sebaliknya, kepergian ibunya sungguh menjadi pengalaman kehilangan dalam hidupnya. Pengalaman kematian ibunya juga menjadi pergumulan dalam ide-ide filosofisnya. Sampai akhirnya ia mempertanyakan apa yang terjadi dengan orang mati.[12]
Marcel melewati masa mudanya setahun di Swedia. Selama perang dunia I, Marcel menggabungkan diri dalam kelompok palang merah Perancis.[13] Dari sini kita dapat mengetahui bahwa pemikiran filosofis Marcel juga dipengaruhi oleh situasi pada masa perang dunia I. Selain itu, Marcel juga pernah belajar di Lyce’e Carnot dan kemudian melanjutkan studi di Universitas Sorbonne. Di universitas inilah Marcel meraih gelar Agre’gation de Philosophie dalam usia yang sangat muda (20 tahun). Di universitas Sorbonne sendiri muncul dua aliran besar yakni Positivisme dan Idealisme. Dua aliran besar ini memiliki pengaruh dalam pemikiran Gabriel Marcel. Selain itu, Ia juga pernah mengajar di berbagai tempat antara lain Lyce’ss, Vendo’me, Paris, Sens, tetapi umumnya tidak lama. Selama perang dunia II, ia diminta untuk kembali mengajar di Paris dan Montpellier.[14]
Pada tahun 1919, Marcel menikah dengan Jacqueline Boeqner seorang Protestan. Pernikahannya ini membawa kebahagiaan besar dalam hidupnya. Ia kemudian masuk Katolik tahun 1929 dalam umur 39 tahun.[15]  Di tengah kesibukannya, Marcel tetap menyediakan waktu untuk melakukan diskusi bersama sahabat-sahabatnya. Setelah perang dunia II, Marcel banyak diminta untuk memberikan kuliah di luar negeri antara lain; Jerman, Norwegia, Portugal, Amerika Serikat, Kanada, Amerika Selatan, Maroko, Libanon dan Belanda. Dari kerja kerasnya ini, Ia dianugerahi banyak pengahargaan baik dari dalam maupun luar negeri.[16]


2.2. Karya-karya Gabriel Marcel
            Umumnya karya-karya Gabriel Marcel termuat dalam buku harian, kumpulan ceramah dan artikel yang ditulisnya. Ia menerbitkan bukunya yang pertama tentang Jurnal Metafisis (Journal Me’taphysique). Buku ini sebenarnya adalah persiapan untuk disertasinya, namun tidak pernah selesai. Buku-buku lain yang kemudian ditulisnya adalah Position et Approaches Concre’tes du Myste’re Ontologique  (Perumusan dan Pendekatan-pendekatan Konkret Misteri Ontologi) tahun 1932. Kemudian E’ter et Avoir tahun 1935 ( Ada dan Mempunyai). Tahun 1940 Du Refus a’ l’invocation (Dari Penolakan kepada Panggilan). Tahun 1945 Homo Viator (manusia yang sedang Berjalan). Le Myste’re de L’ e’tre (Misteri Ada) dalam dua jilid tahun 1951. Juga ditahun 1951 terbit buku Les Hommes Conter l’humaine (Manusia Melawan yan Manusiawi). Tahun 1955 L’homme Proble’matique (Manusia sebagai Problem). Di tahun 1959 Presence et Immortalite’ (Kehadiaran dan Kebakaan). Tahun 1964 La dignite’ Humaine (Martabat Manusia) dan Paix sur Terre tahun 1965 ( Damai di Bumi).[17]
            Selain menulis buku-buku, Marcel juga menulis banyak naskah drama. Bakat untuk menulis drama ini tidak terlepas dari pengaruh ayahnya yang sangat mencintai teater. Dari sekian banyak karyanya ini, penulis menyimpulkan bahwa Marcel adalah salah seorang filsuf yang sangat produktif bukan hanya dalam menulis, tetapi juga dalam diskusi-diskusi, seminar-seminar dan dalam memberikan pengajaran ke berbagai tempat (negara). Namun, untuk konteks Indonesia karya-karya Gabriel Marcel masih sangat terbatas. Demikianpun komentar atas karya-karya yang telah ditulisnya itu. Keterbatasan inilah yang barangkali menjadi kendala bagi setiap pribadi yang ingin bergumul lebih jauh tetang pemikiran tokoh ini.

2.3. Selayang Pandang Pemikiran Gabriel Marcel
            Titik tolak pemikiran filosofis Gabriel Marcel adalah masalah “eksistensi” atau “Ada”. Bagi Marcel eksistensi atau hal berada itu merupakan sesuatu yang pasti. Misalnya saja, ketika saya mengatakan Aku berada, itu merupakan sebuah kepastian bahwa Aku ada.[18] Karena itu, tidak mungkin orang memikirkan ada itu sebagai sesuatu yang tidak pasti.
            Pertanyaan siapakah Aku, merangkum jawaban tentang adanya aku. Artinya ketika Aku berbicara tentang ada, Aku sendiri masuk di dalamnya.[19] Di sini, Marcel membedakan dengan tegas antara Ada dan Mempunyai. Ada sebagaimana yang telah dikatakan di atas adalah sesuatu yang pasti, sementara mempunyai memiliki arti kepemilikan atau seseorang memiliki sesuatu. Misalnya, saya mempunyai sepeda pancal. Namun, Marcel sendiri menilai bahwa mempunyai juga memiliki arti implikasi. Contohnya adalah sebuah segi tiga yang memiliki tiga sudut. Letak implikasinya ialah jika ada segi tiga dan gambarnya mempunyai tiga sudut.[20] Tetapi kesulitan bagi kita ialah Marcel tidak menjelaskan lebih lanjut tentang arti implikasi ini. Ia justeru berlangkah lebih jauh pada makna ada itu sendiri.
            Ada bagi marcel tidak akan tampak sebagaimana mestinya, jika tidak dikorelasikan dengan sebuah relasi. Ada selalu memiliki arti Ada-bersama (esse est-coesse), bahwa manusia hidup dan ada bersama orang lain.[21] Oleh sebab itu, Marcel menekankan suatu relasi intersubjektivitas dalam memahami arti Ada-bersama ini.[22] Dari sinilah, ia mulai menguraikan arti sebuah Kehadiran.
Pengalaman akan Ada-bersama merupakan eksistensi yang tidak dapat ditolak oleh manusia. Kehadiran (presence), bagi Marcel merupakan sebuah Misteri. Kehadiran melampaui ruang dan waktu manusia. Hadir bukan soal ada bersama orang lain di suatu tempat atau waktu tertentu. Ia membedakan dengan jelas relasi “Aku-Engkau dengan Aku-Ia”. Relasi Aku-Ia nampak sebagai relasi fungsional semata. Misalnya, seseorang itu tampak sebagai seorang sopir, polisi dan sebagainya. Berbeda dengan relasi Aku-Engkau. Dalam relasi Aku-Engkau, orang lain dipandang sebagai sesama. Karena itu, walaupun berjauhan relasi Aku-Engkau masih dapat diwujudkan.[23]
Relasi Aku-Engkau menurut Marcel juga tidak dapat dipisahkan dari relasiku dengan dunia ini. Sebab dalam kenyataannya, Aku ada dan hadir di dunia ini. Kehadiranku di dunia ini menuntut Aku untuk terbuka terhadap dunia.[24] Sebagaimana Aku terbuka terhadap sesama sebagai ciri eksistensiku, demikian juga Aku terbuka terhadap dunia ini.[25] Sebagai konsekuensinya ialah dunia ini bukan hanya milikku, tetapi milik bersama.[26] Dengan kata lain, kehadiranku di dunia ini menuntut Aku untuk terbuka terhadap sesama sekaligus terhadap dunia yang juga adalah milik orang lain.
Relasi Aku-Engkau yang dipikirkan Marcel mencapai puncaknya pada taraf “Kita”. Namun, Kita yang dimaksudkan Marcel bukan hanya dua pribadi, tetapi melebihi itu. Sehinggga, realisasi dari kehadiran secara istimewa adalah relasi Cinta. Marcel tidak bermaksud menerapkan konsep cinta secara sempit. Tetapi cinta dalam pemikiran Marcel berarti Aku-Engkau menjadi Kita yang membentuk sebuah kebersamaan (kommnion).[27] Dalam cinta, tidak ada keterpisahan Aku-Engkau, tetapi kita menjadi satu dalam kebersamaan yang berlansung terus-menerus. Marcel menilai bahwa dalam pengalaman cinta terkandung nilai kesetiaan dan keterikatan (engagement dan fidelite). [28]
Cinta bagi Marcel merupakan pengalaman eksistensial manusia. Cinta bukan sesuatu yang objektif melainkan misteri, karena melibatkan kedua belah pihak secara aktif. Selain itu, mencintai bukan sebuah kegiatan untuk mengetahui orang lain, melainkan sebuah panggilan dari Aku kepada Aku yang lain. Aku mencintai Aku yang lain bukan karena Aku yang lain itu menarik atau memiliki keistimewaan dalam dirinya, tetapi Aku mencintai Yang lain karena Yang lain itu adalah dirinya sendiri.[29]
Dari uraian tentang cinta di atas, kita melihat bahwa konsep cinta dalam Marcel, melampaui realitas atau kenyatan hidup seseorang. Dalam artian, mencintai Yang lain, tidak memandang latar belakangnya (ekonomi, agama dan sebagainya), tetapi mencintai karena sebuah panggilan. Selain itu, mencintai Yang lain juga melampaui batas ruang dan waktu. Aku mencintai Yang lain bukan karena Yang lain itu selalu ada di dekatku atau karena Yang lain itu telah memberikan sesuatu bagi hidupku. Karena itu, cinta sebagai misteri menuntut Aku dan Yang lain menceburkan diri dalam pengalaman cinta. Hanya dengan menceburkan diri dalam pengalaman cinta, Aku dapat memahami dengan lebih baik apa artinya cinta.[30]
Gabriel Marcel kemudian berlangkah maju pada refleksi “Tubuh sebagai Tubuhku”. Baginya, refleksi Tubuh sebagai Tubuhku adalah cara yang menarik untuk dapat mengerti “Ada” dan “Mempunyai”. Aku adalah tubuhku merupakan fakta adanya Aku. Dan Aku memiliki tubuh hendak menggarisbawahi kepemilikanku atas tubuhku sendiri. Tubuhku bukan menjadi objek bagiku seperti seorang ahli yang meneliti tentang tubuhku atau tubuh orang lain. Berbeda dengan saya mempunyai anjing, yang saya temukan di jalan atau di beli di pasar. Marcel mengatakan:

Is my body my body, for instance, in the same sence in which I would say that my dog belongs to me? The question, let us first of all notice, of how the dog originally came in to my hands is quite irrelevant here. Perhaps I found it wandering wretchedly about the streets, perhaps I bought it in a shop; I can say it is mine if nobody else puts in a claim for it-though this is still quite a negative condition of ownership. For the dog to be really, not merely nominally, mine there must exist between us a more positive set of relations. He must live, either with me, or as I, and I alone, have decided he shall live-lodged, perhaps, with a servent or a farmer; whether or not I look after him personally, I must assumse the responsibility for his being looked after.[31]

            Analogi kepemilikan terhadap anjing di atas berbeda dengan kepemilikanku terhadap tubuhku sendiri. Artinya, Aku memiliki tanggung jawab terhadap tubuhku untuk menjaganya.[32] Karena itu, Aku dapat mengklaimnya sebagai milikku yang tidak dapat diganggu-gugat oleh siapapun.[33] Namun, dalam situasi tertentu anjing yang taat terhadap diriku, juga analog dengan kesatuanku dengan tubuhku. Misalnya, dalam keadaan sakit dimana saya tidak dapat mengendalikan tubuhku, sehingga tubuhku “bukan lagi menjadi tubuhku”.[34]
            Puncak refleksi filosofis Marcel tentang kehadiran adalah Aku Yang Absolut. Ia sangat menolak usaha untuk membuktikan adanya Allah, sebab usaha pembuktian adanya Allah selalu berada dalam ranah objektivitas manusia. Karena itu, Ia mengakui kehadiran Allah sebagai misteri yang menjangkaui keberadaan saya. Selain itu, kepercayaan akan kehadiran Allah merupakan dasar untuk mengakui kehadiran Yang lain. Di dalam kepercayaan, ada harapan terhadap kehadiran Allah yang absolut. Namun, harapan itu bukan sesuatu yang baru terjadi di masa mendatang, tetapi sebuah kesaksian kreatif terhadap Engkau absolut yang selalu memelihara saya.[35]

2.4. Tokoh-tokoh yang Mempengaruhi Pemikiran Gabriel Marcel
            Pemikiran filosofis Gabriel Marcel muncul tidak terlepas dari pengaruh dua aliran besar yang bergejolak di zamannya. Kedua aliran itu ialah Positivisme dan Idealisme.[36] Di sini penulis tidak mengulas kedua aliran di atas. Penulis hanya menguraikan pemikiran Henri Bergson yang mempengaruhi Gabriel Marcel, karena diawal perkuliahannya di College de France, Marcel bergumul dengan pemikiran Bergson ini. Selain Bergson, Marcel juga dipengaruhi oleh Soren Aabye Kierkegaard.  Kierkegaard sendiri adalah filsuf eksistensialis pertama yang memiliki pengaruh terhadap para filsuf eksistensialis setelahnya.[37]
2.4.1. Soren Aabye Kierkegaard
            Kierkegaard lahir di Kopenhagen, Denmark 1813. Ia adalah anak bungsu dari tujuh bersaudara. Pokok-pokok pemikiran Kierkegaard adalah pertama melawan Hegelianisme. Kedua, persoalan mengenai eksistensi dan tahap-tahap kehidupan eksistensial manusia.
Persoalan pertama adalah melawan Hegelianisme merupakan bentuk penentangan atau perlawanan dari Kierkegaard terhadap formalisme agama di Denmark.[38] Ia mengatakan bahwa agama kristen yang telah menjadi agama resmi negara dan orang-orang kristen yang menyebut dirinya kristen tidak pernah sungguh-sungguh memikirkan Allah.[39] Gereja hadir hanya sebagai lembaga yang terhormat dan munafik serta menghalangi perkembangan spiritual orang-orang kristen. Karena itu, Gereja bukan pewaris sejati dari Gereja Apostolik.[40] Ia menolak dengan keras gagasan Hegel yang menganggap bahwa Roh menyadari dirinya dalam manusia konkret, bukan manusia yang sadar akan roh. Dengan demikian, Hegel memandang manusia hanyalah alat atau kawanan yang anonim dari roh.[41]
            Pokok pikiran yang kedua dari Kierkegaard adalah masalah eksistensi dan tahap-tahap kehidupan eksistensial dari hidup manusia. Menurut Kierkegaard, masalah eksistensi hanya dapat diterapkan kepada manusia atau individu. Persoalan penting bagi manusia adalah keberadaannya sendiri atau eksistensinya sendiri. Namun eksistensi manusia bukanlah suatu ada yang statis, melainkan ada yang selalu berproses atau menjadi.[42]
Sebagai individu aku tidak dapat direduksi kepada benda atau realitas-realitas lain. [43] Aku sebagai individu memiliki kebebasan. Sehingga eksistensi aku sebagai manusia merupakan eksistensi yang dipilih dalam kebebasan.[44] Eksistensi diwujudkan dalam setiap perbuatan konkret individu untuk dirinya sendiri.[45] Eksistensi berarti berani untuk mengambil keputusan hidup. Jadi, manusia yang bereksistensi adalah individu yang berani mengambil keputusan. Ia menjadi aktor untuk hidupnya sendiri, bukan hanya menjadi penonton atau hanya hidup dalam kerumunan individu-individu.[46]
Ada tiga tahap eksistensi menurut Kierkegaard. Pertama, tahap estetis. pada tahap ini, manusia menaruh perhatian terhadap segala sesuatu yang ada di luar dirinya. Tetapi tidak ada ukuran moral bagi setiap perbuatan manusia, yang ada hanyalah keinginan untuk menikmati seluruh pengalaman dan nafsu dalam diri manusia sendiri.[47] Tahap kedua adalah bentuk etis. Dalam tahap ini, individu menguasai atau mengenali dirinya. Namun, individu masih terkungkung dalam dirinya sendiri. Individu masih mengandalkan rasionya, kendatipun ada usaha manusia untuk menguasai tindakannya dengan patokan moral universal.[48]
Tahap ketiga adalah tahap religius. Dimana pada tahap ini, patokan utamanya adalah Allah. Artinya, individu mengakui akan adanya Allah. Karena itu, individu membuat komitmen pribadi. Inilah yang disebut sebagai lompatan iman menurut Kierkegaard.[49]
            Dalam hal apa Marcel dipengaruhi oleh Kierkegaard? Pengaruh Kierkegard terhadap Marcel paling kuat terasa pada masalah eksistensi itu sendiri. Marcel melukiskan eksistensi sebagai sesuatu yang bertentangan dengan objektivitas. Artinya, eksistensi merupakan situasi konkret dari Aku sebagai subjek.[50] Secara tidak lansung, Marcel mengikuti apa yang dikatakan oleh Kierkegaard bahwa masalah eksistensi merupakan persoalan yang hanya dapat diterapkan kepada individu atau  manusia sendiri. Eksistensi  menyangkut keberadaan diriku dengan segala situasi hidup yang Aku alami. Selain itu, Marcel juga menyetujui apa yang dikatakan oleh Kierkegaard bahwa manusia adalah pribadi yang berproses atau yang disebutnya homo viator.
Apakah ada perubahan atau transisi pemikiran mengenai persoalan eksistensi ini dalam Marcel? Penulis menemukan bahwa adanya perubahan cara mengerti tentang eksistensi ini di dalam Marcel. Marcel tidak hanya memandang eksistensi aku sebagai suatu proses menjadi, yang hanya bermuara pada tindakanku sendiri. Artinya, aku yang bereksistensi adalah individu yang dapat mengambil keputusan untuk diriku sendiri. Bagi Marcel, eksistensiku juga mengarah kepada Yang lain. Artinya, keberadaan dan tindakanku tidak hanya untuk diriku sendiri, tetapi juga untuk orang lain.
Marcel mengakui bahwa manusia yang bereksistensi adalah individu yang berproses. Aku memiliki kesadaran akan diriku yang bereksistensi, tetapi eksistensi diriku akan menjadi semakin jelas ketika aku berelasi dengan Yang lain.  Sehingga pengalaman perjumpaan atau pergaulan dengan Yang lain bagi Marcel adalah eksistensi yang khas dari hidupku di dunia ini.[51] Eksistensi diriku merupakan ada yang menjelma di dalam dunia dan dalam hidup dengan dan bersama Yang lain. Karena itu, eksistensiku juga selalu terbuka terhadap kehadiran Yang lain, sebagaimana Yang lain terbuka dan memberi pengaruh bagi eksistensiku.[52]
            Dari uraian di atas, penulis melihat bahwa refleksi tentang eksistensi dalam pemikiran Kierkegaard, hanya sampai pada kesadaran diri yang selalu berproses. Dalam proses itu, manusia atau individu memiliki kebebasan untuk bertindak terhadap dirinya sendiri. Sementara, Marcel berusaha untuk merefleksikan eksistensi tidak hanya sampai pada kesadaran akan diri, tetapi refleksi diri yang memiliki arah kepada subjek lain dan dunia tempat subjek berada.

2.4.2. Henri Bergson
            Henri Bergson yang lahir di Perancis tahun 1859 adalah filsuf yang memiliki pengaruh besar pada masa awal pendidikan Marcel. Bergson dikenal sebagai salah satu filsuf hidup yang bergulat dimasa perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Industrialisasi di abad 19 dan 20. Di sini, penulis hanya menguraikan salah satu tema pemikiran Bergson yang cukup berpengaruh terhadap Gabriel Marcel yakni “Kesadaran akan Hidup” dalam bukunya tentang evolusi kreatif (L’evolution Cr’eatrice).
Hidup menurut Bergson adalah tenaga Eksplosif yang sudah ada sejak awal mula, yang berkembang dan melawan segala penentangan materi. Di satu sisi, hidup ditundukan oleh materi, namun di sisi lain hidup memiliki unsur kebebasan. Dalam kebebasan, hidup itu berjuang melawan materi dan mengalir di dalam waktu, dimana  Aku dapat memperoleh pengalaman.[53]
 Bergson membedakan dua konsep waktu yaitu; pertama, waktu yang dihubungkan dengan konsep ruang. Dalam hal ini, waktu itu dianggap kuantitatif karena dapat diukur dan dibagi-bagi oleh ilmu pengetahuan. Kedua, waktu yang dialami secara lansung dan lebih fundamental. Artinya, waktu itu dialami oleh subjek dalam kesadaran. Dalam konsep yang kedua ini, Bergson menggunakan kata Dur’ee (durasi) untuk menjelaskan waktu yang fundamental. Dur’ee memiliki arti sebagai bentuk kesadaran yang tidak dapat dibagi-bagi.[54]
Dur’ee sebagai hakikat kesadaran adalah jalan menuju kebebasan. Karena itu, hidup menurutnya adalah evolusi. Artinya, hidup yang berubah dan menghasilkan sesuatu yang baru.[55] Kebebasan yang kita alami merupakan aktualisasi dari keperibadian kita seluruhnya.[56] Dengan kata lain, jika kita tidak bebas maka kita tidak dapat mengaktualisasikan kenyataan hidup kita yang real. Kita akan selalu merasa berada dalam kungkungan atau penguasaan orang lain.
Dalam hal apa Marcel dipengaruhi oleh Bergson? Marcel secara khusus dipengaruhi oleh Bergson dalam hal merefleksikan makna hidup itu sendiri. Marcel mengakui bahwa hidup manusia merupakan sebuah proses untuk menjadi atau evolusi. Manusia dalam hidupnya di dunia ini merupakan pribadi yang sedang berziarah. Seperti Bergson, Marcel juga mengakui bahwa manusia adalah pribadi yang memiliki kebebasan dan selalu berevolusi. Namun, kebebasan manusia selalu berada dalam kesadaran akan kebebasan orang lain. Artinya, orang lain adalah sesama yang juga memiliki kebebasan seperti Aku sendiri alami.
Marcel memulai refleksi tentang hidup dengan bertolak dari pertanyaan siapakah Aku? Pertanyaan siapakah Aku,  menuntut sebuah jawaban yang pasti dari diriku sendiri. Dalam bahasanya Marcel, pertanyaan ini menuntut interogasi Aku terhadap diriku sendiri.[57] Tetapi persoalannya adalah apakah pertanyaan yang Aku ajukan untuk diriku sendiri memiliki sebuah jawaban yang pasti dan sungguh-sungguh mewakili hidupku sendiri.
Di balik pertanyaan Siapakah Aku, sesungguhnya Marcel memiliki sebuah keraguan terhadap pertanyaan yang Ia lontarkan untuk dirinya sendiri. Karena itu, jawaban yang tepat atas pertanyaan siapakah Aku harus datang dari orang lain.[58] Dengan kata lain, kesadaran akan hidup dalam refleksinya Marcel mencakup kesadaran akan apa yang dikatakan oleh Yang lain tentang hidupku. Namun, Marcel sendiri tetap memiliki keraguan atas jawaban yang diberikan oleh Yang lain atas hidupku. Sebab bagi Marcel, Yang lain itu memiliki kriterianya sendiri dalam menilai hidupku. Bisa saja teman atau Yang lain yang memberi penilaian atas hidupku berbohong tentang hidupku.[59]
Dimana letak perubahan cara pandang Marcel tentang hidup, dengan bertolak dari apa yang direfleksikan oleh Bergson? Dalam seluruh uraian Marcel mengenai misteri kehadiran, Ia mengulas secara panjang lebar tentang kehidupan itu sendiri. Bagi Marcel, hidup adalah misteri. Artinya, Aku yang hadir di dunia ini, memiliki hidup yang mendalam. Karena hidup yang mendalam itu, maka kehadiranku hanya dapat dipahami di dalam kedalaman hidup itu sendiri.[60]
Pergulatan atau refleksi Marcel mengenai hidup adalah sebuah kesadaran yang mengarah pada kebebasan untuk membangun relasi yang mendalam dengan Yang lain. Marcel merefleksikan bahwa hidupku tidak bisa dilepaskan dari pengaruh kehadiran Yang lain. Karena itu, refleksi Marcel akan hidup mencapai pada taraf persekutuan dengan Yang lain di dalam cinta.[61] Bagi Marcel, pengalaman persekutuan dengan Yang lain dalam cinta, tidak pernah luntur oleh keterpisahan hidup atau oleh jarak yang memisahkan Aku dengan Yang lain bahkan oleh kematian itu sendiri. Sehingga, hidupku bukan hanya sadar akan evolusinya, tetapi juga kesadaran akan kehadiran Yang lain yang mempengaruhi hidupku dan yang mencintai Aku.

BAB III
 MAKNA KEHADIRAN SESAMA DAN MISTERI

3.1. Makna Misteri
            Pada bab III ini, akan diuraikan makna kehadiran sesama dan misteri. Bagian pertama, penulis akan menguraikan secara khusus makna misteri. Pada bagian kedua, sebelum mendalami makna kehadiran sesama menurut Marcel, penulis akan menguraikan secara singkat makna kehadiran sesama menurut beberapa pemikir eksistensialis. Penulis mencoba menelusuri makna misteri dalam pemikiran Gabriel Marcel dengan menguraikan terlebih dahulu arti kata misteri secara umum.

3.1.1. Dalam Kamus Filsafat
             Kata misteri memiliki beberapa pengertian. Pertama, misteri berarti sesuatu yang eksistensi atau keberadaannya tersembunyi dari kita atau sangat sulit dicapai. Kedua, misteri merupakan kebenaran-kebenaran yang menyangkut eksistensi maupun esensinya yang tersembunyi dari pemahaman kita yang terbatas. Dalam artian bahwa eksistensi dan esensi memiliki sifat Absolut; sepenuhnya tidak dapat dilukiskan secara jelas oleh akal budi manusia. Dengan kata lain, Misteri itu bersifat absolut dan merupakan kebenaran yang tersembunyi dari setiap pemahaman manusia yang terbatas, baik menyangkut eksistensinya maupun esensinya. Tetapi, walaupun kebenaran menjadi misteri, itu tidak berarti bahwa kebenaran seluruhnya tidak dapat dipahami.[62]

3.1.2. Makna Misteri dalam Pemikiran Gabriel Marcel
            Istilah misteri dalam pemikiran Marcel tidak dapat dipisahkan dari refleksinya tentang makna kehadiran. Kehadiran yang dimaksud oleh Marcel tidak hanya hadir begitu saja, tetapi kehadiran yang sungguh-sungguh mempengaruhi hidup Yang lain. Sebaliknya, Yang lain juga hadir mempengaruhi hidupku. Selain itu, istilah misteri dalam Marcel juga merefleksikan kedalaman eksistensi hidup manusia sendiri. Karena itu, untuk mengerti misteri secara lebih baik, Marcel membuat pembedaan antara misteri dan problem.
            Problem menurut Marcel ialah sesuatu yang dapat kita pikirkan dari luar. Kita dapat memecahkan atau menghilangkannya dengan kemampuan akal budi. Marcel mengatakan “ when I am dealing with a problem, I am trying to discover a solution that can become common property, that consequently can, at least in theory be rediscovered by anybody at all”.[63] Berbeda dengan misteri. Misteri tidak pernah berada di luar saya atau di depan saya, tetapi di dalam diri saya.[64] Dengan kata lain, diri saya adalah misteri itu sendiri. 

Seperti yang dikatakan  oleh Marcel;

A problem is something which I meet, which I find complete before me, but which I can therefore lay siege to and reduce. But a mystery is something in which I myself am involved, and it can therefore only be thought of as a sphere where the distinction between what is in me and what is before me loses its meaning and its initial validity. A genuine problem is subject to an appropiate technique by the exercise of which it is defined; whereas a mystery, by definition, transcendends every conceiveable technique. It is no doubt, always posible (logically and psychologically) to degrade a mystery so as to turn it into a problem. But this is a fundamentally vicious proceeding, whose springs might perhaps be discovered in a kind of corruption of the intelligence. The problem of evil, as the philosophers have called it, supplies us with a particularly instructive example of this degradation.
Just because it is the essence of mystery  to be recognized or capable of recognition, it may also be ignored and actively denied.  It then becomes reduced to something I have “heard talked about” but which I refuse as only “being for other people”; and that in virtue of an illusion which these “others” are deceived by, but which I myself claim to have detected.
We must carefully avoid all confusion between the mysterious and unknowable. The unknowable is in fact only the limiting case of the problematic, which cannot be actualized without contradiction. The recognition of mystery , on the contrary, is an essentially positive act of the mind, the supremely positive act in virtue of which all positivity  may perhaps be stritcly defined. In this sphere everything seems to go on as if I found myself acting on an intuition which I possess without immediately knowing myself to possess it an intuition which can not be, strictly speaking, selfconscious and which can grasp itself only through the modes of experience in which its image is reflected, and which it lights up by being thus reflected in them.[65]
           
            Masalah bagi Marcel merupakan sesuatu yang saya jumpai dan saya hadapi dalam hidup. Ketika berhadapan dengan sebuah masalah, saya dapat saja menghindarinya, memecahkannya atau mencari solusi untuk keluar dari masalah tersebut. Sebaliknya, misteri menurut Marcel tidak sama dengan teka-teki dimana  jawabannya belum ditemukan, tetapi melampaui pemikiran manusia karena kedalamannya.[66] 
Marcel merefleksikan bahwa misteri berhubungan dengan eksistensi diriku. Misteri tidak berada di luar diriku, tetapi sesuatu yang ada dalam diriku. Artinya, diriku sendiri adalah misteri itu sendiri yang tidak terdefinisikan secara tuntas. Selain itu, Marcel juga menilai bahwa misteri merupakan sebuah refleksi ontologis dari hidup manusia. Sehingga, Marcel kemudian melihat bahwa refleksi ontologis dan misteri merupakan dua hal yang identik.[67]
Misteri tidak memiliki nuansa problematis yang tidak terpecahkan. Artinya, kesadaran yang hanya sampai pada kesimpulan bahwa sesuatu itu adalah misteri. Misalnya, ketika Aku mengatakan bahwa diriku penuh dengan misteri, itu tidak berarti bahwa Aku tidak dapat berfikir lebih jauh tentang diriku yang penuh misteri. Sebaliknya, misteri dapat diketahui dengan kemampuan reflektif akal budi manusia. Dengan kata lain, daya reflektif manusia mampu menelusuri sisi kemisterian hidup dengan kesadaran diri yang disinari oleh cahaya kedalaman hidup manusia sendiri. Wilayah kedalaman hidup manusia bagi Marcel adalah dimensi keabadian dari misteri itu sendiri. Karena itu, Marcel menyimpulkan bahwa antara ide-ide keabadian dan misteri memiliki mata rantai yang sangat sempurna.[68]
3.1.2.1. Misteri-misteri Mengalir menuju Keabadian
            Pemikiran Marcel tentang misteri akhirnya mengarah pada sebuah kesadaran akan makna hidup manusia yang mendalam. Hidup manusia di dunia ini memiliki dimensi kedalaman yang tidak dapat diselami secara tuntas. Manusia hanya mampu mengalami kedalaman hidupnya dalam kehadiranya yang nyata di dunia dan dalam adanya bersama orang lain.
            Misteri hidup manusia berada dalam seluruh dinamika hidup manusia sendiri. Bagi Marcel manusia hadir di dunia dan selalu berproses. Artinya, manusia yang hadir didunia ini adalah pribadi-pribadi yang berziarah atau homo viator. Sehingga Marcel berkesimpulan bahwa Setiap misteri yang ada dalam hidup manusia mengalir menuju keabadian seperti sebuah sungai yang menuju lautan yang luas dan bahkan mendalam. Manusia tidak dapat mengenal kedalamannya secara lebih sempurna, tetapi manusia bisa melewatinya dalam keterbatasannya. Walaupun menurut Marcel, konsep ini amat kabur untuk kita, namun kita dapat mengalaminya secara nyata terutama dalam kehadiran kita di dunia ini.[69]

3.1.2.2. Keabadian Tidak Lain adalah Misteri itu Sendiri
            Kehadiran manusia di dunia ini yang penuh misteri menurut Marcel tidak dapat dipikirkan secara tuntas, tetapi manusia bisa mengalaminya dalam hidup. Artinya, gagasan misteri hidup manusia yang mendalam bergerak pada wilayah yang melampaui pikiran manusia. Namun bagi Marcel, hal ini tidak memiliki indikasi bahwa pikiran manusia sama sekali tidak mampu menyentuh realitas misterius dari eksistensi manusia sendiri. Sebaliknya, wilayah misterius dari hidup manusia masih dapat dijangkau oleh kemampuan reflektif manusia sendiri.
            Gagasan tentang kedalaman hidup yang penuh misteri dapat dilukiskan seperti seseorang yang berada jauh dari kampung halamannya, namun Ia masih dapat merasakan situasi yang terjadi di kampung halamannya. Situasi ini mengikat seseorang di dalam batinnya dan keterikatan itu hanya dirasakan oleh seseorang yang sungguh-sungguh mengalaminya. Demikian juga halnya dengan konsep keabadian yang adalah misteri itu sendiri. Keabadaian hendak menegaskan kembali kenyataan misterius dari eksistensi hidup manusia. Artinya, kehadiran manusia di dunia memiliki sisi kemisterian yang abadi atau yang tidak terkatakan secara tuntas. Misteri hidup manusia abadi dan mengalir secara terus-menerus dalam seluruh ziarah hidup manusia. Karena itu, menurut Marcel, kita tidak dapat mengibaratkan keabadian yang mengalir dari misteri seperti sebuah peta. Walaupun sebuah peta dapat kita letakan di atas meja. Namun keabadian yang adalah misteri itu sendiri, memiliki dimensi yang jauh lebih mendalam, yang membuat kita tidak sungguh-sungguh memahami kedalamannya.[70]

3.2. Makna Kehadiran Sesama
            Pada bagian ini, penulis secara khusus akan menguraikan makna kehadiran sesama menurut Gabriel Marcel. Sebelum melukiskan gagasan Marcel, terlebih dahulu akan diuraikan pandangan beberapa pemikir eksistensialis yang juga menggagas tentang makna kehadiran sesama atau orang lain.

3.2.1. Menurut Beberapa Pemikir Eksistensialis
            Di sini penulis tidak mengambil semua pemikiran para filsuf eksistensialis untuk menjelaskan konsep mereka tentang arti kehadiran sesama. Penulis hanya mengambil tiga tokoh yang menurut penulis memiliki hubungan yang dekat dalam mengulas pemikiran Gabriel Marcel tentang makna kehadiran sesama.Tokoh-tokoh yang penulis pilih adalah Jeang Paul Sartre, Emmanuel Levinas, Maurice Merleau-Ponty.

3.2.1.1. Jean Paul Sartre
            Jeang Paul Sartre adalah filsuf eksistensialis yang hidup sezaman dengan Gabriel Marcel. Sartre lahir dari keluarga yang menengah pada tanggal 21 juni 1905. Asas pertama dalam pemikirannya adalah memahami manusia dengan mendekatinya sebagai subjek.[71] Manusia memiliki perencanaan untuk masa depannya. Dan itu berarti bahwa manusia bebas untuk mengembangkan dirinya.
Segala keputusan yang diambilnya menjadi tanggung jawab pribadinya, tetapi itu tidak berarti bahwa manusia tidak memiliki tanggung jawab terhadap sesamanya.[72] Selain itu, manusia tidak dapat mempersalahkan orang lain atas keputusannya, sebab apa yang diputuskannya adalah pilihannya sendiri.[73] Namun demikian, manusia tidak dapat menolak fakta bahwa ada yang lain di sekitarnya. Yang lain juga memiliki kebebasan, sehingga menurut Sartre kebebasan manusia berada pada situasi dilemma. Artinya, manusia sama sekali bebas atau sama sekali tidak bebas.[74] Oleh karena itu, bagi Sartre kita tampil dihadapan Yang lain dengan latar belakang yang berbeda, sehingga Yang lain pun menanggapi kita dengan caranya sendiri.[75]
            Dalam hidup di dunia ini kita dapat mewujudkan kebebasan kita. Namun kebebasan kita ternyata dibatasi oleh kehadiran yang lain. Sartre menguraikan konsep ini dengan bertolak dari gagasan “aku yang mengamati”.[76] Sartre mengatakan:

Ketika aku duduk dan mengamati segala apa yang ada di sebuah taman, aku menjadi pusat dari segala apa yang ada. Namun tiba-tiba muncul yang lain. Pertama, ia menjadi objek bagiku, tetapi aku tidak dapat mengaturnya. Ia akhirnya menjadi pusat dan mencuri duniaku. Ketika ia melihat aku, ia kemudian menjadi subjek dan aku menjadi objek baginya. Atau peristiwa lain, ketika aku sedang mengintip seseorang dalam suatu ruangan atau kamar, tiba-tiba seseorang muncul di belakangku dan ia melihat aku sedang mengintip. Aku menjadi objek baginya dan oleh karena kehadirannya aku tidak lagi menjadi bebas. Aku menjadi malu terhadapnya. Kebebasanku diambil atau dibatasi olehnya. Karena ketidak-bebasan, aku berusaha untuk tidak peduli dengan yang lain itu. Tetapi pengalaman itu tidak bertahan lama. Aku selalu merasa dibatasi oleh yang lain, yang hadir dan yang telah melihat aku. Karena itu, relasiku dengan yang lain tidak lagi harmonis. Tetapi relasiku dengan yang lain adalah konflik. Mengapa? Karena aku dengan yang lain berusaha untuk saling mengobjekkan.[77]

Dari gagasan di atas, Sartre sampai pada kesimpulan bahwa Yang lain adalah neraka untuk diriku. Oleh karena Yang lain adalah neraka, maka saya harus melawannya, sebab kehadiran Yang lain mendatangkan malapetaka untuk diriku. Sehingga, eksistensi kehadiran Yang lain bagi Sartre merupakan awal dari kejatuhanku.[78]

3.2.1.2. Emmanuel Levinas
            Titik tolak pemikiran Levinas adalah kritik terhadap filsafat barat yang kerap mereduksi yang banyak ke yang satu dan yang berlainan ke kesamaan. Selain itu, dalam filsafat identitas idealisme Jerman yang sering mereduksi eksistensi manusia semuanya identik. Akibatnya ialah manusia bebas untuk menindas dan bahkan meniadakan orang lain. Sebagai orang Yahudi, Levinas sungguh merasakan fenomena ini. Dalam rentangan waktu yang lama, orang Yahudi sering ditindas, dimusuhi, dicurigai dan beberapa korbannya adalah keluarga Levinas sendiri.[79]
            Dalam uraiannya tentang yang lain, Levinas memulainya dengan penampakkan wajah. Baginya, wajah adalah peristiwa etis.[80] Mengapa dikatakan peristiwa etis? Levinas menjawab karena wajah itu memberi perintah kepada saya untuk tidak melakukan hal yang buruk, melainkan berbuat baik. Larangan jangan membunuh bukan berarti tidak ada kemungkinan untuk melakukan pembunuhan.[81] Tetap ada kemungkinan untuk tindakan kejahatan seperti membunuh. Jadi, wajah bukan sekadar ekspresi atau tampilan yang ada di hadapan saya. Wajah tidak dapat dengan mudah saya mengerti sesuai dengan apa yang tampak di hadapan saya. Wajah memiliki makna dalam dirinya sendiri.[82]
            Perintah jangan membunuh memiliki konsekuensi bahwa saya bertanggungjawab terhadap orang lain. Lalu siapa saja orang lain itu? Orang lain itu adalah lebih tinggi dari saya. Indikasi lain dari perintah jangan membunuh di sini memiliki arti bahwa dalam penampakkan wajah, seorang atasan berbicara atau memberikan perintah kepada saya melalui suatu komando.[83] Karena itu, tanggung jawab bagi Levinas berarti saya bertanggungjawab atas tanggung jawab orang lain.[84] Tetapi itu tidak dimaksudkan bahwa orang lain bertanggungjawab terhadap perbuatan-perbuatan saya. Relasi tanggung jawab ini tidak bersifat timbal-balik. Artinya, saya bertanggungjawab atas perbuatan saya dan juga terhadap perbuatan orang lain, sehingga orang lain juga harus bertanggungjawab atas perbuatan-perbuatan saya.[85]
            Melalui tanggung jawab terhadap orang lain saya dapat menemukan dan memahami identitasku yang unik. Pertemuan dengan yang lain juga membuat diriku menjadi aku. Kehadiran orang lain juga sebuah tantangan mutlak untuk aku. Oleh karena itu, aku tidak berdaya terhadap kehadiran orang lain, tetapi aku hanya bersifat pasif. Kemutlakkan kehadiran orang lain bukan hal yang tawar-menawar dan dikesampingkan. Sehingga bagi Levinas, berhadapan dengan orang lain sama halnya berhadapan dengan Yang-Tak-Berhingga, tetapi tidak secara lansung. Artinya, kehadiran orang lain bukan pertanda bahwa Tuhan secara lansung muncul dalam diri orang lain itu.[86]
Pengalaman akan Tuhan bukan pengalaman seperti kehadiran orang lain untuk aku. Tetapi yang dimaksud oleh Levinas ialah pengalaman kehadiran orang lain membantu aku untuk membuka cakrawala realitas transendensi.[87] Karena itu, saya memiliki tanggung jawab terhadap orang lain dengan bertindak adil. Bertindak adil secara nyata menurut Levinas baru dimulai ketika muncul pihak ketiga. Kehadiran pihak ketiga membuat saya harus berfikir bagaimana caranya agar tanggung jawab saya terbagi secara adil terhadap mereka berdua.[88]

3.2.1.3. Maurice Merleau-Ponty
            Ponty menulis disertasinya tentang Fenomenologi Persepsi.[89] Yang dimaksud fenomenologi persepsi oleh Ponty adalah kita menyadari diri sebagai suatu tubuh bukan dengan mengamati atau memikirkan tubuh kita, tetapi dengan menjadi tubuh kita.[90] Dengan kata lain, eksistensi kita adalah tubuh itu sendiri, bukan tubuh orang lain. Bagaimana kita memiliki persepsi tentang tubuh kita? Ponty menjawab bahwa dalam kesadaran kita dapat memahami tubuh kita. Antara kesadaran dan tubuh kita, tidak ada keterpisahan. Artinya, tubuh tidak berada di luar kesadaran itu.[91]
            Fenomenologi persepsi dari Ponty tidak hanya mengarah kepada kesadaran aku sebagai tubuhku, tetapi juga dalam relasi dengan orang lain. Ponty sangat menekankan bahwa orang lain ada bagi dirinya, demikian juga aku ada bagi diriku. Namun aku dan orang lain memiliki perspektif pandangan, yakni pandangan aku terhadap orang lain dan pandangan orang lain terhadap diriku.[92] Artinya, aku harus  sadar bahwa ada orang lain yang memiliki penilaian tertentu terhadap diriku. Lebih lanjut Ponty mengatakan bahwa saya haruslah sama dengan diriku dan orang lain pun harus sama dengan dirinya. Artinya, diriku haruslah sama dengan apa saya tampakkan kepada orang lain, demikian juga orang lain haruslah sama dengan apa yang Ia tampakkan kepada diriku dan orang lain. Sehingga, eksistensi saya mencakup juga kesadaran orang lain tentang dirinya dan juga penjelmaan saya, sekurang-kurangnya dalam peristiwa historis.[93]
            Dalam persepsinya tentang relasi aku dengan yang lain, Ponty tidak menekankan hubungan Intersubjektivitas seperti yang dipikirkan oleh Gabriel Marcel dan Levinas. Tetapi yang ditekankan oleh Ponty adalah hubungan Primordial yakni pada taraf Pra-reflektif (persepsi). Saya dan yang lain adalah subjek-subjek persepsi anonim (tanpa nama). Setiap nama merupakan hasil refleksi. Dan nama sebagai hasil refleksi merupakan kesadaran bukan lagi persepsi. Sehingga baginya, relasi aku dengan yang lain pada taraf persepsi merupakan relasi intersubjektivitas anonim.[94] Jika kesadaran dan tubuhku memiliki hubungan batiniah yang memungkinkan aku berada di dunia, maka tubuhku dan tubuh orang lain merupakan penyempurnaan relasi. Tubuhku bukanlah objek bagi orang lain, sebaliknya tubuh orang lain bukan objek bagiku. Sehinggga relasi aku dengan yang lain tidak saling mengobjekkan, tetapi saling menyempurnakan. Dengan kata lain, adanya orang lain tidak mereduksi aku ke dalam wilayah pengobjekkannya.[95]



3.2.2. Menurut Gabriel Marcel       
            Titik tolak pemikiran Marcel dalam memahami kehadiran sesama adalah unsur kebersamaan dalam hidup manusia. Namun, kebersamaan dengan orang lain tidak dapat dipisahkan dari sebuah kesadaran akan eksistensi diriku atau eksistensi Aku. Karena itu, Marcel menekankan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam kesadaran akan eksistensi dari Aku.

Pertama, dalam hubunganku dengan Orang lain, Marcel mengatakan: Consciousness of self occurs only in the following behaviour: pretentiousness, aggresiveness, humility, i.e., when the living link connecting  me and another is broken by over-passing the I and him opposition. The ego is the more itself the more it is with the other and not directed at itself”. Kedua, dalam hubungan dengan Diri sendiri, Marcel mengatakan: “The consciousness of self appears as the breaking of the inner city the ego forms with itself, with its past. Here again it is intersubjectivity that it first. My life is then on the far side of the oppositions: I and someone else, unity and plurality. [96]


            Marcel melihat orang lain sebagai Engkau bukan Ia. Sehingga dalam relasi dengan yang lain, Marcel menekankan sebuah relasi Intersubjektivitas. Relasi intersubjektivitas ini merupakan bentuk keterbukaan dari Aku kepadaYang lain atau keterbukaan dari subjek yang satu kepada subjek yang lain. Relasi intersubjektivitas memungkinkan Aku dengan Yang lain dapat saling berbagi atau berkomunikasi. Selain itu, intersubjektivitas juga sebagai dasar relasi persaudaraan antar sesama manusia.[97] Dalam relasi persaudaraan itu, di dalamnya terdapat unsur partisipasi atau keterlibatan yang aktif antara subjek yang satu dengan yang lain.
            Unsur partisipasi dalam hidup manusia, sangat mungkin terjadi apabila ada keterbukan dari Aku kepada yang lain. Artinya, Aku menyadari bahwa orang lain adalah sesama yang menolong Aku. Orang lain bukan menjadi subjek bagiku. Karena itu, Marcel mengatakan bahwa partisipasi dalam hidup bersama orang lain dalam relasi intersubjektivitas merupakan pengalaman fundamental dalam hidup manusia.[98]
 Relasi Aku-Engkau yang kemudian dipersatukan dalam Kita adalah kenyataan eksistensi manusia yang paling sempurna.[99] Artinya, Aku dengan Yang lain sama-sama bereksistensi. Karena itu, Aku dengan Yang lain membentuk persekutuan dalam kita, sehingga Aku dengan Yang lain tidak saling mengobjekkan. Sebaliknya, Aku dengan yang lain saling mengikatkan diri.
Dalam relasi Aku-Engkau, Marcel melihat adanya sebuah Komunio bersama. Orang lain hadir bagiku dan Aku pun hadir bagi orang lain. Karena itu, di dalam relasi Aku-Engkau, cinta kasih adalah hal yang paling mungkin.[100] Cinta kasih dalam relasi dengan orang lain, memungkinkan aku bisa menerima kehadiran orang lain dan bahkan Allah sendiri atau yang Absolut.[101]
            Panggilan untuk hadir bagi orang lain adalah panggilan untuk mencinta. Marcel menyadari keterbatasan manusia dalam merealisasikan dirinya. Artinya, manusia tidak dapat mewujudkan dirinya di dunia tanpa kehadiran orang lain. Karena itu, melalui kehadiran orang lain keterbatasan Aku terpenuhi dalam diri orang lain. Dengan kata lain, kehadiran orang lain membantu Aku untuk merealisasikan diriku. Orang lain adalah cahaya bagi hidupku. Dalam ketersesatan aku membutuhkan orang lain untuk menunjukkan jalan yang tepat di mana saya harus lalui. Marcel mengatakan:

If I have re’ally lost my bearings, if it is late, if I fear that I may have to grope my way for hours through some labyrinthine and perhaps even dangerous warren of streets, I may have a fleeting but irresistible impression that the stranger I am appealing to is a brother eager to come to my aid. What happens is, in a word, tyhat the stranger has started off by putting himself, as it were, ideally in my shoes. He has come within my reach as a person.[102]


Kebersamaan dalam relasi dengan orang lain menurut Marcel bukan sesuatu yang sifatnya dangkal.[103] Seperti, ketika saya suka kopi dan orang lain juga menyukai hal yang sama, lalu kami bersama-sama mencari tempat untuk minum kopi. Relasi ini hanyalah pertemuan yang dangkal.[104] Sama halnya ketika saya mengatakan kepada seseorang bahwa saya pernah bertemu dengan orang tuanya.
Pertemuan saya dengan orang tuanya tidak memiliki sebuah kebersamaan yang bisa mempengaruhi seluruh hidup saya atau paling tidak mengubah hidup saya. Dari sini Marcel melihat adanya bahaya dalam sebuah kebersamaan. Orang cenderung menilai pertemuan itu sebagai  sebagai sebuah kebersamaan, namun kebersamaan itu  hanya sesaat.[105]
Bahaya lain yang mengancam sebuah relasi kebersamaan dengan orang lain adalah kekeringan hidup. Dalam sebuah perkawinan misalnya, ada masa atau saat dimana suami-isteri mengalami kegersangan hidup. Sebagaimana yang dikatakan Marcel;

would be possible to show that a single human relationship can work its way all the way up and down this scale; this, for instance, is quite obviously  true of marriage. There may be moments of drought in marriage when the wife becomes for her husband merely that ‘silly creature who should have been busy darning socks, but there she was clucking round the tea table with a lot of old hens,’ and there may be almost mystical moments when the wife is acknowledged and loved as the bearer of a unique value to which eternal bliss has been promised. One might therefore say that there is an hierarchy of choices, or rather of invocations, ranging from the call upon another which is like ringing a bell for a servant to the quite other sort of call which is really like a kind of prayer.[106]


            Untuk menjaga kebersamaan aku dengan yang lain, maka dalam relasi itu, aku dan yang lain harus memiliki semangat kesetiaan. Kesetiaan bukan hanya dalam pengalaman senang atau gembira, tetapi dalam segala pengalaman kebersamaan dengan orang lain. Kesetiaan itu sifatnya kreatif dan saling membangun.[107] Dalam semangat kesetiaan itulah, Aku dengan Yang lain saling membuka diri dan tidak saling mencurigai.

3.3. Kesimpulan
            Gagasan Marcel akan misteri tidak terlepas dari makna kehadiran sesama atau kehadiran Yang lain. Bagi Marcel, kehadiran Yang lain merupakan misteri yang tidak pernah terpecahkan. Selain itu, Marcel merefleksikan bahwa misteri berhubungan erat dengan eksistensi diriku. Misteri tidak berada di luar diriku, tetapi sesuatu yang ada dalam diriku. Artinya, diriku sendiri adalah misteri itu sendiri yang tidak terdefinisikan secara tuntas. Misteri tidak memiliki nuansa problematis yang tidak terpecahkan. Dengan kata lain, misteri tidak sama dengan problem atau masalah. Karena itu, Marcel menyimpulkan bahwa misteri-misteri selalu mengalir menuju keabadian dan keabadian itu sendiri adalah misteri.
Refleksi Marcel akan makna kehadiran sesama atau Yang lain, amat berbeda dengan pemikiran Sartre yang melihat eksistensi Yang lain sebagai neraka. Dalam Marcel, Yang lain adalah sesama yang bereksistensi seperti Aku. Relasi Aku dengan Yang lain adalah relasi cinta yang bermuara pada Kita. Sehingga, Marcel menekankan sebuah relasi intersubjektivitas dalam berelasi dengan Yang lain.
Relasi intersubjektivitas ini juga dilukiskan oleh Levinas dalam memahami Yang lain. Sementara itu, Ponty menggagas relasi dengan Yang lain dengan bertitik tolak dari persepsinya tentang tubuh. Pada akhirnya, Marcel menemukan bahwa kebersamaan dengan orang lain terbentuk melalui komunio bersama dalam cinta kasih. Kebersamaan dengan orang lain menjadi langgeng, jika Aku dengan Yang lain saling setia, saling membuka diri dan tidak saling mencurigai.

BAB IV
KEHADIRAN SEBAGAI SEBUAH MISTERI:
SEBUAH TINJAUAN FILOSOFIS MISTERI EKSISTENSI MENURUT GABRIEL MARCEL

4.1. Kehadiran sebagai Misteri
            Dalam bab IV ini, penulis akan mendalami lebih jauh gagasan Marcel tentang kehadiran sebagai sebuah misteri. Poin pertama yang hendak diulas oleh penulis adalah kehadiran sebagai misteri. Penulis mengikuti alur pemikiran Marcel dengan menguraikan terlebih dahulu pertanyaan mendasar siapakah Aku?

4.1.1. Siapakah Aku?
            Dalam membahas pengaruh filsafat hidup Henri Bergson terhadap pemikiran Gabriel Marcel, sedikitnya penulis telah menyinggung pertanyaan di atas, siapakah Aku? Pertanyaan siapakah Aku merupakan bagian dari usaha Marcel untuk memahami kedalaman kehadiranku di dunia ini atau kehadiranku yang misteri. Aku yang hidup, berada di tengah-tengah dunia bersama Yang lain. Selain itu, pertanyaan siapakah Aku juga mau menunjukkan cara Aku (saya) bereksistensi dengan tubuhku sendiri.[108] Artinya, Antara Aku dengan tubuhku tidak dapat dipisahkan terlepas dari cara Aku dalam memandang tubuhku.
            Pertanyaan siapakah Aku, hendak menginterogasi diriku sendiri. Namun, bagi Marcel dibalik pertanyaan tersebut terkandung maksud tersembunyi. Apakah diriku layak untuk mengajukan pertanyaan tersebut untuk diriku sendiri? Marcel mengatakan:

When I ask myself, Who am I, I who interrogate myself about my own being? I have an ulterior motive, there is a more fundamental question that I want to ask myself: it is this , Am I qualified to answer  this question? Ought I not to be afraid, in fact, just because the answer to the question, Who am I? Will finally be may own answer that it will not be a legitimate answer? But such a fear implies an assumption of the following sort: that if a legitimate answer can be finally given to the question, Who am I? It cannot be given by myself , but only by somebody else. [109]
                 

Marcel memiliki sebuah keraguan untuk menginterogasi diri sendiri. Baginya,  jawaban dari pertanyaan tersebut tidak absah karena Aku sendiri yang memberikan jawabannya. Oleh karena itu, menurut Marcel harus ada Yang lain yang memberikan jawaban atas pertanyaan siapakah Aku.

4.1.1.1. Aku adalah Aku 
            Jawaban pertama yang diberikan oleh Marcel atas pertanyaan siapakah Aku ialah Aku adalah Aku. Mengapa Marcel memberikan jawaban demikian? Jawaban Aku adalah Aku mau menegaskan bahwa eksistensi Aku tidak mudah dipecahkan. Aku adalah Aku juga mau menunjukkan keotentikan dari eksistensiku.  Artinya, Aku bukanlah ini atau itu, tetapi Aku adalah diriku sendiri. Eksistensi hidupku tidak dapat diuraikan secara tuntas. Aku selalu unik dari Yang lain. Aku berbeda dari apa yang dilihat, dinilai atau dikenal oleh Yang lain. Selain itu, Aku adalah Aku hendak mengatakan bahwa Aku tidak dapat diwakili oleh sebagian dari diriku, tetapi keseluruhan diriku. Dengan kata lain, Aku adalah Aku menyingkapkan kenyataan dari eksistensi hidupku sendiri.[110]
            Jawaban Aku adalah Aku dari pertanyaan siapakah Aku menurut Marcel harus diberikan oleh hidupku. Artinya, Aku adalah keseluruhan dari hidupku. Namun, hal ini tidak berarti bahwa seluruh eksistensi hidupku dapat diungkapkan hanya dalam beberapa pertanyaan.[111] Yang mau dikatakan oleh Marcel dari jawaban Aku adalah Aku bahwa misteri kehidupanku atau kedalaman hidupku tidak mudah dipecahkan dan tidak dapat dijawab hanya dalam beberapa kata atau melalui sebuah cerita. Ia mengatakan, Aku dapat saja mengisahkan hidupku kepada diriku sendiri dengan syarat Aku harus memandang hidupku sebagai orang lain. Masa kecil hidupku hanya dikisahkan berdasarkan apa yang pernah dilihat dan dikatakan oleh Yang lain. Dengan demikian jelaslah bahwa Aku tidak dapat mengisahkan hidupku sendiri secara tuntas.[112]
            Apakah dengan pernyataan Aku adalah Aku, Marcel menolak apa yang dikatakan oleh Yang lain tentang eksistensi hidupku? Jawaban Aku adalah Aku dalam pemikiran Marcel, tidak memiliki indikasi untuk menolak apa yang dikatakan oleh Yang lain tentang hidupku. Sebaliknya, Marcel tetap mengakui jawaban yang diberikan oleh Yang lain tentang hidupku, kendatipun jawaban itu mengelak dari hidupku atau tidak sepenuhnya mewakili eksistensi hidupku. Karena itu, Marcel juga meragukan apa yang dikatakan oleh Yang lain tentang hidupku. Misalnya saja, ketika kita bingung dengan diri kita sendiri, lalu kita meminta bantuan kepada orang lain untuk mengenali diri kita sendiri. Menurut Marcel, di sini kita menemukan kesulitan, sebab teman atau Yang lain yang kita pilih untuk memberikan pencerahan kepada kita tentang eksistensi kita berasal dari pilihan kita sendiri, yaitu Aku sendirilah yang memutuskan bahwa Yang lain itu memiliki syarat-syarat yang dibutuhkan untuk memberikan pencerahan kepadaku.[113]
            Jika Aku memilih teman atau Yang lain tersebut untuk memberikan pencerahan kepadaku, itu berarti bahwa Aku sendirilah yang membuat Yang lain itu absah. Karena bisa saja orang yang Aku pilih berbohong tentang diriku. Tetapi yang menyebabkan Yang lain itu berbohong adalah diriku sendiri, sebab Aku sendirilah yang memiliki otoritas untuk mengatakan siapakah diriku.[114] Marcel mengatakan:

The person whom I have chosen may really be able to enlighten me about myself, but it is I who have chosen him, it is I, that is, who have decided to give me self-enlightenment. And once I have become aware of this, is not my problem as acute as it ever was? It is I mysefl who make it legitimate for my friend (and yet it is on that legitimacy I am relying) to tell me who I really am. If I chose this particular friend, was it not because, in the depths of my being, I felt I could risk wagering my self-esteem on this friendship for someone who wiil torment and wound me by his pitiless estimate of character. [115]


Karena itu, marcel tetap memiliki keraguan terhadap jawaban yang benar-benar absah dari pertanyaan siapakah Aku. Baginya, pertanyaan siapakah Aku tidak mudah dijawab seperti jawaban yang diberikan oleh Yang lain. Dengan kata lain, pertanyaan siapakah Aku harus dijawab oleh keseluruhan hidupku.
            Seperti yang dikatakan Marcel, Aku adalah Aku menyingkapkan kenyataan hidup dari diriku sendiri atau keseluruhan hidupku. Namun, Marcel juga meragukan apa persisnya hidupku? Seperti seorang pastor yang kehilangan arah hidupnya karena telah berhubungan intim dengan seorang wanita. Kemudian wanita itu mengaku dosa kepada sang pastor bahwa dirinya telah berbuat zinah. Sang pastor sendiri bertanya, siapakah dirinya yang sebenarnya dan seberapa pentingkah dirinya itu?[116]
            Aku adalah Aku, tidak berarti bahwa Aku dapat memahami keseluruhan hidupku. Aku dapat mengisahkan atau mengenal hidupku pada masa kecil hanya bersumber dari Yang lain yang telah mendahului Aku. Tentu kisah atau cerita dari Yang lain tentang hidupku tidak seluruhnya merangkum apa yang pernah Aku alami. Selain itu, ketika Aku berkata bahwa pada masa kecil diriku sering sakit, hidupku penuh dengan pengalaman pahit, apakah Aku tahu bahwa Aku sedih dan sakit? Sama halnya, apakah Aku tahu dan merasakan bahwa pada masa kecil hidupku penuh dengan kebahagiaan. Marcel mengatakan:

During these childhood years, did I even know that I was sad and ill? Illness is really an idea as foreign to the small child as health is. So it is doubtful whether I really knew that I was ill or sad.....thus it is just as if, retrospectively, I was dipping the web or tissue of my past in the some kind of dye. I only become aware  of this particular hue that tinges my childhood now, in the light of what I have learned or what I have leved through in subsequent years.[117]

Maka sangat diragukan kebenarannya, apa yang dikatakan oleh Yang lain dan yang Aku katakan sendiri tentang hidupku. Aku hanya melihat warna yang melekat pada masa kecilku dari kaca mata sekarang ini. Bagi Marcel, amat mustahil mengisahkan cerita hidupku persis seperti apa yang pernah terjadi dahulu. Dalam artian bahwa kehidupanku sama sekali tidak dapat dipahami hanya melalui sebuah cerita. Seberapapun konkrit pikiran kita, namun kita harus tetap mengakui bahwa kehidupanku yang sebenarnya Aku alami selalu berada di luar jangkauan apa yang Aku pikirkan sekarang ini.[118]
            Hidupku bukanlah masa laluku seperti yang tertulis dalam sebuah buku harian. Suatu ketika buku harian tersebut dibuang dan dibakar, apakah itu berarti hidupku juga seperti sampah dan dibakar? Marcel mempertanyakan apakah dengan adanya buku harian tersebut dan dibakar seperti sampah, hidupku juga tidak lagi ada yang tersisa? Bagi Marcel, hidupku seperti kembang api yang terbakar habis, maka niscaya suatu saat Aku dapat menemukan apa yang masih tersisa dalam hidupku, apa yang tidak terangkut dan tidak terbakar seperti sampah. Bukankah hidupku adalah apa yang telah Aku peroleh? Hidupku adalah karya-karyaku sendiri dan karenanya Aku harus menjawab bahwa Aku adalah Aku, Aku adalah keseluruhan hidupku dan Aku adalah karyaku dan apa yang telah Aku capai.[119]Karena itu, Aku adalah Aku tidak memiliki indikasi bahwa hidupku sepenuhnya dapat dimengerti atau dapat didefinisikan. Hidupku tetap menjadi sebuah misteri. Selain itu, Aku adalah Aku tidak bermaksud untuk menolak apa yang dikatakan oleh Yang lain tentang eksistensi hidupku.

4.1.1.2. Aku yang Dipahami dari Kedalamanku
            Aku adalah diriku dalam pemikiran Marcel menunjukkan kedalaman dari kehadiranku. Hidupku tidak sama dengan sebuah dompet yang ditemukan oleh seseorang pada sebuah jalan. Marcel mengatakan bahwa eksistensiku sebagai mahluk hidup mendahului penemuanku sebagai mahluk hidup.[120] Di sini Marcel mau menegaskan bahwa eksistensiku sudah ada sejak kehadiranku di dunia ini. Sementara kesadaranku akan keberadaanku baru terjadi setelah Aku mendalami hidupku.
            Gagasan Marcel tentang Aku yang harus dipahami dari dalam tidak begitu mudah untuk kita telusuri. Marcel merumuskan kedalaman hidup dengan sebuah tindakan pengorbanan. Tetapi pengorbanan menurutnya, tidak sama dengan sebuah cek yang dapat diuangkan. Pengorbanan yang dimaksudkan oleh Marcel adalah pengorbanan total orang yang mempertaruhkan hidupnya bagi banyak orang.[121]
            Orang yang mempertaruhkan hidupnya dengan kesadaran total tidak akan menerima apapun setelah Ia mati.[122] Marcel membayangkannya seperti seorang martir atau pahlawan. Bagi Marcel pengorbanaan itu merupakan kegilaan. Namun jika direfleksikan lebih jauh kegilaan itu adalah mulia.[123] Dari sini kita dapat melihat gagasan Marcel tentang kedalaman hidup mengarah pada pemberian hidup dalam kesadaran. Memberikan hidup menurutnya tidak sama dengan membuang hidup.  Namun Marcel sendiri tidak menolak kemungkinan adanya pandangan dari luar yang melihat pengorbanan diri sebagai sebuah kesia-siaan belaka.[124]
            Aku yang harus dipahami dari dalam mengungkapkan makna hidup yang melampaui apa yang dikatakan oleh Yang lain. Sehingga Marcel sampai pada kesimpulan bahwa kedalaman hidupku hanya bisa dipahami melalui cahaya penyingkapan batiniah. Artinya, kalau Aku mau mendalami hidupku maka diriku harus masuk di dalam kedalaman hidup itu sendiri untuk mengambil bagian di dalamnya. Dengan kata lain, Aku hanya dapat dipahami dari kedalaman hidupku sendiri. Aku tidak hanya menjadi penonton yang hanya memandang hidupku dari luar. Namun Marcel tetap terbuka dengan kemungkinan penolakan atas gagasan cahaya batiniah ini dengan mengakui ruang kebebasan batiniah setiap orang untuk menilai hidup itu sendiri.[125] Artinya, Marcel tidak membatasi ruang kebebasan manusia untuk memberikan makna bagi hidupnya sendiri dan juga hidup orang lain. Sebaliknya, Marcel mengakui dan mengahargai kebebasan setiap orang untuk menilai hidup itu sendiri, tergantung apakah orang itu sungguh-sungguh masuk di dalam kedalaman hidupnya. 

4.1.1.3. Aku yang Terikat dengan yang Mendahului Aku
            Marcel tidak menjelaskan secara rinci apa artinya yang mendahului Aku. Namun, kita dapat menelusuri ulasan Marcel tentang arti yang mendahului Aku. Pertama, yang mendahului Aku berarti orang yang ada lebih dahulu atau yang lahir lebih dahulu dari Aku.  Hal ini dapat kita simak dalam uraiannya tentang Aku adalah Aku. Dimana Marcel, mengakui bahwa masa laluku hanya dapat dipahami dari apa yang dikatakan oleh orang lain yang telah mendahului Aku.[126] Kedua, yang mendahului Aku berarti sesama atau Yang lain yang memiliki keterikatan dengan Aku. Arti yang kedua ini kiranya dapat mewakili makna Aku yang terikat dengan yang mendahului Aku pada sub tema ini. Jadi, yang mendahului Aku berarti sesama atau Yang lain, yang berelasi dan memiliki keterikatan dengan Aku.
Dua jawaban yang diberikan oleh Marcel (Aku adalah Aku dan Aku yang harus dipahami dari dalam) dari pertanyaan siapakah Aku, menegaskan bahwa hidupku tidak dapat dipahami secara tuntas, bahkan Aku sendiri tidak mampu menguraikan hidupku dengan pasti. Tetapi Aku dapat masuk didalam kedalaman hidupku sendiri. Selain itu, Marcel merefleksikan bahwa hidupku mengelak dari apa yang dipahami atau yang dikatakan oleh Yang lain. Tetapi, Aku dapat terpanggil untuk mengorbankan hidupku atau untuk mengabdikannya.[127]
            Tindakan mengorbankan hidup merupakan sebuah panggilan untuk hidupku.[128] Panggilan dimana Aku harus bertindak. Menurut Marcel, panggilan untuk mengorbankan diri ini muncul dari kedalaman suara hati hidupku atau disebutnya sebagai kebutuhan batiniah. Karena itu, hidup manusia yang didorong untuk mempersembahkan diri merupakan hidup atas sesuatu yang lain selain dirinya sendiri.[129]
            Apa hubungan uraian di atas dengan pernyataan Aku yang terikat dengan yang mendahului Aku? Arah dari pemikiran Marcel mengenai pengorbanan hidup yang bersumber dari kesadaran batiniah adalah keterikatan Aku dengan yang mendahului Aku. Artinya, panggilan Aku untuk bertindak mengorbankan hidup tidak terlepas dari keterikatan Aku dengan Yang lain atau kebersamaan hidup dengan Yang lain. Maka, kebersamaan Aku dalam relasi dengan Yang lain, menuntut Aku untuk mengorbankan hidup bagi Yang lain.
Kebersamaan dalam relasi Aku dengan Yang lain menurut Marcel, memiliki keterikatan yang sifatnya mendalam dan tidak dapat diruntuhkan. Kebersamaan itu tidak sama dengan apa yang terjadi dalam suatu undangan pesta. Atau kebersamaan ketika diriku diberitahu oleh seseorang sebuah tempat untuk membelikan kopi.[130] Bagi Marcel, hubungan kebersamaan Aku dengan Yang lain terbentuk dalam relasi intersujektivitas.
            Dalam tataran Intersubjektivitas, Marcel melihat bahwa hubungan Aku dengan Yang lain mencapai pada taraf Kita.[131] Orang lain atau Yang lain yang terikat dengan hidupku adalah penolong yang memberikan cahaya dalam hidupku. Dengan kata lain, Yang lain sebagai penolong adalah seberkas spiritualitas yang menerangi perjalanan hidupku. Marcel mengatakan:

When I stop somebody in the street to ask my way, I do say to him, it is true, Can You tell me how to get to such-and-such a square? But all the same I am making a convenience of him, I am treating him as if he were a sign-post. No doubt, even in this  limiting case, a touch of genuine intersubjectivity can break through, thanks to the magical powers of the tone  of voice and the glance. If I have relly lost my bearings, if it is late, if I fear that I may have to grope my way for hours through some labyrinthine and perhaps even dangerous warren of streets, I may have a fleeting but irresistible impression that the stranger I am appealing to is a brother eager to come to my aid. [132]

Karena itu, Marcel melihat keterikatan Aku dengan Yang lain atau yang mendahului Aku merupakan bentuk eksistensi hidupku. Aku dengan Yang lain membentuk relasi yang saling mengikat. Di dalam relasi yang mengikat itu, ada unsur kebersamaan antara Aku dengan Yang lain yang mencapai pada tingkat kita atau kommunio bersama.



4.1.2. Kehadiranku di hadapan Yang lain
            Poin kehadiranku dihadapan Yang lain dalam uraian Marcel sesungguhnya masih memiliki hubungan dengan jawaban Aku yang terikat dengan yang mendahului Aku. Di samping itu, kehadiranku dihadapan Yang lain secara tidak lansung menegaskan apa pentingnya kehadiranku bagi Yang lain. Sesuai dengan titik tolak pemikiran Marcel dalam memahami arti hidup, siapakah Aku atau seberapa pentingkah hidupku?[133] Marcel mengatakan bahwa Aku harus memandang hidupku bukan hanya seperti seseorang yang hadir di dalam dunia pada suatu waktu, melainkan juga Aku seperti yang terikat dengan yang telah mendahului Aku. Inilah dimensi kedalaman atau kebatiniahan dari kehadiranku di dunia ini.[134]

4.1.2.1. Kehadiranku yang Meta-fisik
            Kehadiranku yang meta-fisik dalam pemikiran Marcel tidak melenyapkan kenyataan bahwa Aku hidup di dalam ruang dan waktu. Sebaliknya, Marcel mengatakan bahwa konsep kedalaman kehadiranku yang meta-fisik adalah proses yang terus berjalan. Ia terus terbuka seperti jalan panjang yang dapat diikuti hanya di dalam ruang dan waktu. Marcel mengatakan:

In terms of time, the deep thought, or the profound notion, is a long path that can be followed up only in time; it is like an intuitive dive into an investigation which can be developed only over a long period of lived, personal, human time. [135]


Maka, kedalaman kehadiranku yang meta-fisik tidak dapat dipisahkan dari kenyataan masa laluku dan apa yang terjadi di masa depan. Konsep kedalaman hanya berlaku apabila Aku memandang masa depan sebagai sebuah misteri seperti masa lalu. Aku hanya dapat memahami dan membicarakan keduanya dari perspektifku kini dan di sini (here and now). Keduanya bersatu, antara yang lalu dan yang akan datang. Bagi Marcel ini merupakan keabadian yang tidak dapat disimbolkan secara kelihatan, namun utuh.[136]
            Dimana letak meta-fisik dari sebuah kehadiran? Gagasan tentang kehadiranku yang meta-fisik dalam pemikiran Marcel memiliki makna serupa dengan makna kehadiran sebagai sebuah misteri. Marcel merefleksikan bahwa kedekatan fisik Aku dengan Yang lain tidak serta-merta menunjukkan bahwa Aku hadir bagi Yang lain, demikianpun Yang lain hadir bagiku. Kehadiranku yang  metafisik mau menegaskan bahwa kehadiranku melebihi realitas fisik atau penampilanku secara fisik. Kehadiranku yang metafisik, melampaui apa yang Aku dan Yang lain pikirkan atau definisikan melalui bahasa atau sebuah cerita.[137] Artinya, kehadiran yang metafisik menunjukkan dimensi kedalaman dari kehadiranku dan tidak dapat didefinisikan secara tuntas oleh bahasa manusia. Dengan kata lain, kehadiranku yang metafisik hendak menekankan kembali kenyataan eksistensiku yang mendalam.
4.1.2.2. Kehadiranku yang Meta-sosiologis
            Kedalaman kehadiranku yang meta-sosiologis dalam gagasan Marcel memiliki hubungan yang sangat erat dengan misteri ikatan keluarga.[138] Realitas ikatan keluarga adalah realitas meta-sosiologis, melampaui apa yang dipikirkan oleh sosiologi tentang siapakah Aku.[139] Marcel melihat dua kenyataan untuk memahami kehadiranku yang meta-sosiologis. Pertama, dalam perbandingan kelahiran. Kedua, mengakui hidup sebagai sebuah karunia.

4.1.2.2.1. Perbandingan Kelahiran
            Kenyataan sosial yang dihadapi oleh Marcel pada zamannya cenderung mereduksi konsep keayahan dan keanakan. Artinya, antara konsep keayahan dan keanakan tidak lagi memiliki makna bagi kebanyakan orang. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh filsafat pencerahan (aufklarung), yang melihat realitas keanakan dan keayahan sebagai tahyul.[140]
            Dalam banyak kasus, Marcel melihat bahwa berketurunan merupakan tindakan yang tanpa direncanakan. Tindakan yang tanpa sadar dan tanpa tanggung jawab bahwa tindakan itu akan melahirkan anak yang tidak pernah minta dilahirkan. Marcel merefleksikan bahwa melahirkan keturunan hanyalah fenomena sosial-biologis semata. Dengan kata lain, melahirkan keturunan hanya terbatas pada pemenuhan kebutuhan biologis semata. Konsekuensinya ialah dunia menjadi begitu tragis, mengorbankan hidup manusia dengan hukuman yang dibuat oleh manusia sendiri. Seorang anak bahkan dapat menolak kehadirannya di dunia ini, saya tidak pernah minta dilahirkan dan atas dasar apakah saya dilahirkan serta hidup dibebankan kepada saya?[141]
            Dimana letak meta-sosiologis dari perbandingan kelahiran dengan bertolak dari uraian di atas? Marcel tidak memberikan sebuah uraian atau jawaban yang rinci dari gagasan meta-sosiologis ini. Sebaliknya, Marcel menekankan keterikatan batin antara ayah dan anak dalam peristiwa kelahiran. Artinya, melahirkan keturunan (melahirkan seorang anak) bukan hanya fakta sosial-biologis semata, melainkan melampaui relasi sosial itu. Kelahiran yang tidak diinginkan merupakan kecenderungan biologis semata dari manusia. Namun, ketika tindakan melahirkan keturunan dilakukan dengan penuh tanggung jawab, dimana di dalamnya ada ikatan spiritual antara ayah dan anak, maka di sanalah letak meta-sosiologis dari kelahiran itu sendiri. Dengan kata lain, realitas meta-sosiologis dari sebuah kelahiran terletak pada keterikatan batin (spiritual) antara ayah dan anak yang dilahirkan. Karena itu, bagi Marcel peristiwa penolakan terhadap kelahiran bersifat timbal-balik. Artinya, ketika seorang anak menolak atau mengingkari ayahnya, sang ayah juga menolak mengakui bahwa Ia bertanggungjawab atas hidup anaknya.[142]

4.1.2.2.2. Mengakui Hidup sebagai Karunia
            Menurut Marcel, hidupku tidak sama dengan sebuah dompet yang saya temukan di sebuah jalan atau lorong. Hidupku tidak hanya hadir begitu saja, tetapi hidupku memiliki nilai yang jauh lebih mendalam. Hidupku melampaui apa yang dikatakan oleh orang lain dan bakan Aku sendiri tidak dapat memahami sepenuhnya kedalaman hidupku.
Hidupku adalah karunia yang penuh misteri, tidak dapat dilukiskan hanya dalam sebuah cerita atau hanya dicatat dalam sebuah buku harian. Bagi Marcel, ketika seorang ayah menolak anaknya dan sebaliknya seorang anak menolak untuk mengakui ayahnya, sama halnya menolak untuk mengakui eksistensi hidup manusia sendiri. Karena itu, Marcel menyimpulkan bahwa penolakan terhadap eksistensi hidup sama dengan penolakan terhadap hidup sebagai sebuah karunia.[143] Menolak untuk mengakui hidup sebagai karunia merupakan sebuah bentuk keterputusan manusia dengan dirinya sendiri. Artinya, manusia tidak sungguh-sungguh memaknai hidupnya sebagai sebuah karunia.
Dari urai di atas, kita dapat menemukan bahwa realitas meta-sosiologis dari pengakuan terhadap hidup sebagai karunia terletak pada poin kedalaman hidup itu sendiri. Artinya, kita perlu mengakui bahwa hidup kita di dunia ini memiliki dimensi kedalaman. Kita dapat menemukan dan merasakan hidup kita sebagai karunia hanya apabila kita sungguh-sungguh menceburkan diri di dalam kedalaman hidup itu sendiri. Karena itu, bagi Marcel realiatas penolakan untuk mengakui hidup sebagai karunia, tidak harus dipandang sebagai tindakan yang melunturkan kaidah moral, tetapi kedalaman hidup itu sendiri yang telah dinodai oleh kecenderungan manusia yang menolak hidup sebagai karunia.[144]

4.2. Kedalaman Kehadiran yang Misteri
            Kehadiran menurut Marcel tidak pernah dipikirkan sebagai kedekatan menurut kategori ruang, tetapi suatu relasi batiniah antara dua orang atau lebih, sehingga masing-masing pribadi berpartisipasi satu dengan yang lain.[145] Kehadiranku di hadapan Yang lain memiliki kedalaman atau melampaui apa yang dipikirkan oleh Yang lain. Karena itu, Aku atau diriku selalu berbeda dari objek dan bahwa Aku memiliki sifat Transenden.


4.2.1. Aku yang berbeda dari Objek
            Relasi Aku dengan Yang lain menurut Marcel bukanlah relasi saling mengobjekkan. Sebaliknya, Aku dengan Yang lain adalah subjek yang sama-sama bereksistensi. Aku tidak dapat memandang Yang lain sebagai subjek bagiku. Aku sendiripun bukanlah objek bagi Yang lain. Berangkat dari pengalaman yang sederhana, Marcel mengatakan:

We could say that the man sitting beside us in the same room as ourself, but that hi was not really present there, that his presence did not make itself felt. But what do I mean by presence here? It is not that we could not comunicate with this man; we are supposing him neither deaf, blind, nor idiotic. Between ourseves  and him a kind of physcal, but merely physical, communication, is possible; the image of the passing of messages between a reception point and an emissionpoint, which we have rejected on several other occasions, is in fact quite applicable here. Yet something essential is lacking. One might say that what we have with this person, who is in the room, but somehow communion: unreal communication, in a word.[146]

            Orang yang berada di samping kita sesungguhnya mengerti apa yang kita katakan, namun dia tidak mengerti kita. Bahkan orang tersebut dapat membuat kita menjadi terasing bagi diri kita sendiri. Sebaliknya, dapat terjadi bahwa kehadirannya dapat menyegarkan keadaan batiniahku. Ia dapat membuat diri kita menjadi utuh atau menjadi diri kita sendiri.[147]
            Menurut Marcel, pertemuan kita dengan orang yang duduk di samping kita, jika tidak melibatkan diri secara total hanyalah sebuah pertemuan yang kebetulan. Kita memandang orang yang duduk di samping kita sebagai orang asing yang hadir di hadapan kita. Karena itu, yang terjadi bahwa kita hanya memandang orang yang berada di samping kita (orang asing) sebagai objek dan sebaliknya orang asing tersebut juga memandang kita sebagai objek. Namun,  ketika orang yang duduk di samping kita (orang asing tersebut) dapat membuat Aku menjadi diriku sendiri atau mencerahkan keadaan batiniahku, maka di sanalah kehadiran sungguh-sungguh dapat dirasakan.[148] Jadi bagi Marcel, relasi Aku dengan Yang lain dirasakan bukan dalam kedekatan fisik, tetapi dalam kondisi batiniah. Artinya, Aku dengan Yang lain sungguh-sungguh mengalami dan masuk di dalam relasi tersebut, sehingga tidak ada tindakan untuk saling mengobjekkan. Bahkan ketika Aku dan Yang lain tidak lagi berada dalam ruang atau berada dekat satu dengan yang lain, namun kehadiran itu masih dapat dirasakan. 

4.2.2. Aku yang Transenden
            Istilah transenden yang dipakai oleh Marcel merupakan bentuk pengakuan Marcel terhadap kapasitas reflektif yang dimiliki oleh manusia. Marcel mengakui bahwa manusia memiliki kemampuan reflektif untuk memberikan makna bagi setiap pengalaman yang dialami dalam hidup. Dengan kata lain, transendensi merupakan daya kreatif manusia untuk menemukan dimensi yang lebih jauh dari apa yang dialami dalam hidup. Marcel mengatakan:

Not only does the word ‘transcendent not mean transcending experience, but on the contrary there must exist a posibility of having an experience of the transcendent as such, and unless that possibily exists the word can have no meaning. One must not shirk the admission that, at a first glance, such an assertion runs the risk of appearing to contradict itself. But may not this be due to the fact that we tend, without realizing it, to form far too restrictive, taking experience?[149]


Bagi marcel, refleksi dalam hidup manusia memiliki fungsi untuk mewujudkan kehidupan atau usaha untuk berlangkah ke tingkat yang lebih jauh dari hidup itu sendiri. Pengalaman manusia bukan hanya rekaman dari apa yang telah dialami. Karena itu, Marcel menemukan dua model refleksi dalam hidup manusia yaitu,  refleksi primer dan sekunder.
Refleksi primer menurut Marcel cenderung membuyarkan kesatuan antara pengalaman dengan hidup manusia, sementara refleksi sekunder memiliki sifat untuk menyatukan kembali. Selain itu, Marcel melihat bahwa refleksi sekunder memiliki peran penting dalam penyelidikan filosofis.[150] Misalkan, saya merasa kecewa dengan perilaku seorang yang saya cintai, sehingga mengubah pandangan saya terhadapnya. Dengan kata lain, orang yang saya cintai bukanlah orang yang layak saya percayai. Namun, proses refleksinya tidak hanya sampai di situ. Saya mulai mengingat-ingat apa yang pernah saya buat terhadapnya, sehingga saya bertanya kepada diri saya sendiri; apakah tindakan saya saat itu, berbeda dengan tindakan saya saat ini? Apakah saya harus mempersalahkan orang yang saya cintai itu? Refleksi saya akhirnya mempertanyakan tindakan saya sendiri. Saya semakin sadar bahwa tindakan saya sendiri salah dan bahwa saya tidak memiliki hak untuk menghakimi orang yang saya cintai.[151]
Istilah transenden yang dipakai oleh Marcel juga tidak pernah bermaksut untuk mempertentangkannya dengan konsep imanen terutama dalam merefleksikan tentang Allah. Aku yang transenden hendak menekankan kebutuhan mendasar manusia untuk mengungkapkan dirinya. Artinya, manusia dalam hidupnya di dunia ini selalu membutuhkan Yang lain. Karena itu, kebutuhan manusia untuk mengungkapkan dirinya terjadi di dalam pengalaman partisipasi hidup bersama Yang lain.[152]
            Pengalaman manusia dalam berelasi dengan Yang lain menurut Marcel menuntut manusia untuk  berpartisipasi dalam hidupnya bersama Yang lain. Bagi Marcel, transendensi diri dari Aku kepada Yang lain dapat dicapai dengan jalan partisipasi. Prinsip partisipasi bagi Marcel merupakan bagian dari eksistensi manusia untuk mencapai kepenuhan hidupnya. Partisipasi yang tidak lain adalah persekutuan atas dasar cinta. Dengan jalan partisipasi dalam persekutuan cinta, manusia dapat mengenal dan semakin sadar akan nilai-nilai yang terkandung dalam relasinya dengan Yang lain.[153]

4.2.3. Kehadiran Yang lain
            Yang lain dalam pemikiran Marcel tidak pernah dipandang sebagai objek. Yang lain adalah sesama yang juga memiliki kedalaman hidup seperti Aku. Kehadiran Yang lain meruapakan suatu undangan bagi Aku untuk membangun relasi dengannya.[154] Dalam relasi dengan Yang lain syarat utamanya adalah cinta. Melalui cinta Aku bisa berpartisipasi secara terbuka terhadap kehadiran Yang lain.[155]
            Cinta dalam pemikiran Marcel adalah cinta yang membuat Aku dengan Yang lain saling mengikatkan diri secara bebas. Cinta dimana Aku tidak menuntut Yang lain untuk berbuat baik kepada diriku. Dalam cinta, Marcel menemukan adanya komunio kehadiran bersama Yang lain.[156] Komunio dalam cinta menurut Marcel menuntut kesetiaan yang total dari Aku kepada Yang lain dan sebaliknya.
            Kesetiaan tersebut bukan berarti bahwa Aku mencampuri urusan Yang lain. Tetapi kesetiaan yang dimaksut oleh Marcel adalah kesetiaan yang kreatif dimana Aku dengan Yang lain mampu memelihara hubungan cinta tersebut.[157] Selain itu, kesetiaan juga berarti Aku dengan Yang lain memiliki sikap yang selalu terbuka untuk selalu membaharui relasi cinta yang telah retak. Hanya dengan membaharui terus-menerus relasi cinta itu, Aku dengan Yang lain dapat menjadi pribadi yang terbuka dan berkembang.

4.3. Pengungkapan Kehadiran
            Refleksi lebih lanjut dari Marcel ialah bagaimana mengungkapkan sebuah kehadiran? Marcel menemukan beberapa poin untuk mengungkapkan sebuah kehadiran. Pertama, melalui daya tarik. Kedua, dalam kehadiran yang sesungguhnya. Ketiga, melalui sikap empatik dan keempat, dalam sebuah konsep pengakuan ayah-anak.


4.3.1. Diungkapkan dalam Daya Tarik
            Kehadiran menurut Marcel dapat saja diungkapkan melalui daya tarik. Namun sangat tidak mungkin jika kita mengajarkan kepada seorang pelukis atau seniman membuat kehadiranya dapat dirasakan. Menurut Marcel, kita hanya bisa memberikan seruan agar orang tersebut (seorang pelukis) mengarahkan perhatiannya kepada dirinya sendiri. Marcel mengatakan:

It would be quite chimerical to hope to instruct somebody in the art of making his presence felt: the most one could do would be to sugest that he drew attention to him self by making funny faces! The whole business would be rather like teaching a woman how to have charm.[158]
                            

            Daya tarik dalam pandangan Marcel tidak hanya menyangkut penampilan fisik semata, sebab penampilan fisik dapat saja dipelajari seseorang dengan mudah. Marcel mengatakan “seseorang dapat mengikuti pelajaran dalam khursus tata kerama, etika dan sebagainya. Tetapi Ia dapat mengetahui semua pelajaran itu tanpa perlu membuat dirinya menarik. Sebaliknya, Ia dapat membuat dirinya menarik tanpa perlu mengetahui pelajaran tersebut”.[159]

2 komentar:

  1. boleh minta daftar pustakanya?

    BalasHapus
  2. sangat bagus kk, tapi yang ingin saya tanyakan adalah bagimana jika peristiwa Auschwitz terjadi pada masa kini?... bagaimana kita melihat yang sebagai aku-engkau yang naik menjadi kita...
    saya merasa tertarik dengan Gabriel Marcel dari tulisan kk,, mungkin bisa dijelaskan di sini

    BalasHapus